Senin, 19 Maret 2018

Tuntutan Teknologi dan masa depan

Tuntutan Teknologi dan masa depan

 “The best way to predict the future is to create it."
Kutipan kalimat Presiden ke-16 AS, Abraham Lincoln itu terpampang di belakang meja resepsionis inovasi center di gedung Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
“Ini tempat bagi anak-anak muda kreatif yang akrab dengan dunia digital,” kata Menteri Ketenagakerjaan, Muhammad Hanif Dhakiri kepada BeritaSatu.com, di Jakarta.
Diberi nama inovasi center, ruangan itu semula gedung parkir di lantai dua yang disulap dengan desain kreatif warna-warni.
Pada Selasa (30/1/2018), ruangan seluas empat lapangan tenis itu telah ditempatkan sejumlah sofa, layar kaca light emitting dioda, satu ruangan server, ruang rapat, dan ada juga meja pimpong, sepakbola meja (foosball), dan bar.
Menteri Hanif mengatakan gedung itu disesuaikan dengan imajinasi anak-anak muda zaman now. “Mereka butuh jaringan internet yang lancar dan cepat serta didukung server yang tanpa batas,” katanya.
Diharapkan dari ruangan itu akan terbit karya-karya yang berkaitan dengan teknologi digital. Fisik platformnya memang untuk anak-anak muda kreatif. “Ide membangunnya dari anak-anak muda,” kata Hanif.
Setelah kelar, ruangan itu hanya bisa dihuni oleh anak-anak muda kreatif yang akrab dengan teknologi informasi. “Mereka akan diseleksi, sehingga tak hanya menjadi tempat nongkrong tanpa kreativitas,” katanya.
Pastinya, kata Hanif, inovasi center adalah bagian dari kegiatan Kemnaker untuk mengikuti irama perkembangan zaman. “Ini bagian kecil dari program menyeluruh yang kita siapkan untuk menjawab kemajuan teknologi,” katanya.
“Jadi ini adalah konsep masa depan. Nanti mereka akan kita kawinkan dengan perusahaan-perusahaan TI (teknologi informasi, Red). Kita bisa titip pekerjaan inovasi yang kreatif menyangkut Kemnaker. Kita tak bisa memprediksi pemikiran anak-anak muda, mereka sangat kreatif,” ujar Hanif.
Ruangan imajinasi untuk anak-anak muda kreatif itu adalah salah satu program yang dirancang Hanif untuk menjawab tuntutan perkembangan teknologi.
Tak hanya inovasi center, ia juga merancang dan menerapkan peningkatan mutu pada 17 balai latihan kerja (BLK) di bawah Kemnaker. Saat ini di seluruh Indonesia terdapat 307 BLK.
Menteri Hanif mengakui masih banyak program yang harus diterapkan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia (SDM) atau tenaga kerja dan kemudahan akses. Masalahnya, pembahasan ketenagakerjaan di Indonesia lebih banyak diwarnai soal risiko keselamatan pekerja, perseturuan para pekerja dan majikan, gesekan hubungan industrial, hingga masuknya tenaga-tenaga kerja asing ke Indonesia.
Soal tenaga kerja asing, Hanif menilai masih pada batas kewajaran. “Kita harus bersikap adil. Kita mengirim TKI berjuta-juta orang ke luar negeri,” katanya.
 Selain bersikap adil, Hanif mengajak semua pihak membangun cara berpikir dengan perspektif daya saing. Selain itu, Hanif juga menggarap perluasan kesempatan kerja.

“Jika kita terus mengubek-ubek risikonya, dan tidak memikirkan persepektif daya saing, maka kita menjadi pribadi-pribadi populisme yang tak bertanggung jawab. Tetapi in the near future akan merusak semuanya,” katanya.
Kosentrasi Hanif pada daya saing sangat masuk akal, sebab Indonesia--dan seluruh negera lain di dunia--sedang di ambang fase revolusi industri 4.0 (revolusi industri generasi keempat).
Revolusi industri 4.0 ini terindetifikasi dengan berkembangnya fungsi internet dari sekadar mencari informasi dan berkirim pesan telah bertransformasi menjadi internet of thinks, munculnya superkomputer, robot pintar, kendaraan tanpa pengemudi, editing genetik, dan perkembangan neuroteknologi.
Itulah sebabnya Founder dan Executive Chairman of the World Economic Forum (WEF), Klaus Schwab dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution menyebutkan saat ini manusia harus lebih mengoptimalkan fungsi otaknya.
Revolusi industri pertama dimulai sejak abad ke-18 (sekitar 1750), ketika tenaga manusia dan hewan mulai digantikan dengan mesin. Struktur ekonomi dari agraris beralih ke manufaktur, tumbuhnya kota-kota industri, dan fenomena urbanisasi.
Lalu, pada abad ke-19 (mulai 1870) terjadi revolusi industri generasi kedua dengan munculnya tenaga listrik dan motor pembakaran dalam (combustion chamber) yang ditandai penemuan telepon, mobil, dan pesawat terbang. Lalu, tercipta proses produksi transportasi massal.
Selanjutnya, masuk abad ke-20, lahirlah teknologi digital dan internet pada generasi ketiga yang mulai terbangun sejak 1960-an, saat perangkat elektronik menghadirkan otomatisasi produksi. Di era ini, penggunaan internet telah mengubah cara masyarakat berbisnis dan berkomunikasi.
Pada revolusi industri generasi keempat ditemukan pola baru ketika disruptif teknologi--menciptakan pasar baru, mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada, dan menggantikan teknologi terdahulu--begitu cepat dan mengancam keberadaan perusahaan-perusahaan yang sudah mapan.
Kanselir Jerman, Angela Merkel, pada WEF 2015, menjelaskan revolusi industri 4.0 mengintegrasikan dunia siber dengan produksi industri. Internet menjadi motor proses produksi. Semua objek dilengkapi teknologi yang mampu berkomunikasi sendiri dengan sistem teknologi informasi. Misalnya, pekerja di sebuah pabrik pintar adalah mesin dan robot yang mampu menjalankan tugas rumit, bertukar informasi, memberi dan menerima perintah secara otomatis tanpa melibatkan manusia.
Di samping tantangan revolusi industri, telah berlaku pula Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sejak Januari 2016, yaitu terjadinya integrasi ekonomi ASEAN dalam menghadapi perdagangan bebas antarnegara-negara ASEAN.
Di satu sisi, MEA telah memperluas pasar tenaga kerja. Riset dari Organisasi Perburuhan Dunia menyebutkan pembukaan pasar tenaga kerja bernilai positif, yaitu menciptakan jutaan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan.
Sebaliknya, disebutkan banyak perusahaan menemukan pegawainya kurang terampil, bahkan salah penempatan kerja karena kurangnya pelatihan dan pendidikan profesi. Padahal, konsekuensi dari MEA pada persaingan yang semakin ketat.
Guru besar bidang ilmu manajemen Fakulas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali mengatakan imbas dari revolusi industri adalah hilangnya job (pekerjaan) yang kita kenal sekarang ini. “Di samping itu juga menumbuhkan pekerjaan baru yang lebih banyak,” katanya.
Hanya saja, kata Rhenald, sumber daya manusia yang tersedia Indonesia sangat lemah. “Complacent. Nyaman dengan skill yang sudah dimiliki, padahal tuntutan baru berkembang pesat sekali. Mentalitas penumpang, kurang berani membuat keputusan,” katanya.
“Selain itu, selalu beranggapan kalau sukses di sekolah, maka secara otomatis bisa sukses dalam kehidupan kantor atau kerja. Kurang diberi ruang untuk inovasi,” ujarnya.
Rhenald menambahkan SDM kurang tertantang untuk kembali belajar dan lebih berorientasi pada pengakuan, seperti gelar akademik. “Lembaga-lembaga pendidikan cenderung kurang adaptif," tuturnya.
Padahal, karakter pekerjaan di masa depan akan berbeda sekali dengan pekerjaan masa lalu. “Kita tak bisa melatih dan mendidik SDM dengan cara-cara lama. Tidak bisa dengan buku-buku yang sudah kita kenal. Bahkan metodenya pun harus banyak berubah,” katanya.
Kalau mendidik semata-mata menjadikan orang pandai, lanjut Rhenald, maka SDM akan kalah dengan teknologi. “Teknologi jauh lebih pandai dari manusia. Tak kenal lelah, lebih cepat,dan lebih tahan bahaya,” katanya.
Jadi, ia menyarankan penekanannya adalah perlunya melatih kesungguhan dan keterampilan SDM. “Care, creative, relationship,” sebutnya.
Peningkatan mutu SDM tak hanya karena tekanan revolusi industri dan MEA saja, Indonesia juga membutuhkan 113 juta tenaga kerja terampil agar mampu menjadi pusat perekonomian ketujuh di dunia pada 2030. Sementara, menurut data Kemnaker, Indonesia saat ini memiliki 56 juta tenaga terampil. Jadi, masih berkurang 57 juta lagi.
Jika sekadar jumlah, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia memiliki 131 juta angkatan kerja. Setiap tahun angkatan kerja juga bertambah 2 juta orang. Artinya sudah melebihi kapasitas.
Masalahnya, 60,25 persen di antaranya adalah tenaga kerja berpendidikan rendah, setingkat SD dan SMP.
Bagaimana dengan lulusan perguruan tinggi? “Di tingkat ini juga terjadi mismatch dan underqualified worker, sehingga kualitas kompetensi menjadi di bawah standar. Inilah mengapa lulusan perguruan tinggi pun banyak jadi pengangguran,” kata Menteri Hanif.
Data BPS menunjukkan terdapat 7,04 juta orang pengangguran di seluruh Indonesia.
Jadi, jelas Menteri Hanif, harus bekerja keras.
Pertanyaannya apakah Indonesia siap menghadapi revolisi industri 4.0 dengan perubahan yang luar biasa itu?
“Siap tidak siap, harus siap! Yang pasti, pemerintah mengajak semua pihak melakukan antisipasi dan menjawab tantangan yang ada. Optimisme harus terus ditumbuhkan,” kata Menteri Hanif.
Bahkan, perusahaan-perusahan juga harus mampu mendeteksi keberadaan posisinya di tengah kemajuan teknologi ini.
Sebab, kata Hanif, sejumlah industri juga akan tiba-tiba menjadi old. “Jika tak ingin tergusur, maka perlu bertransformasi agar menjadi new,” katanya.

Transformasi industri itu harus diikuti transformasi pekerjaan. “Perkembangan teknologi pasti akan membunuh sejumlah job. Namun juga melahirkan sejumlah job baru,” katanya. Ia memberi contoh, youtubers sebagai profesi baru.
Begitu juga dengan keahlian yang tiba-tiba menjadi kuno. Ia mencontohkan, dulu ada yang namanya program Wordstar. Dipublikasikan MicroPro International, aplikasi pengolah kata ini sempat mendominasi pasar pada era 1980-an. “Skill komputer model lama itu kini telah mati,” kata Hanif.
Karena itu, perbaikan utama yang dilakukan meningkatkan kualitas SDM.
Pertama adalah pendidikan dan kedua adalah pelatihan vokasi (pelatihan pada keahlian terapan tertentu). Kita fokus pada vokasi, ini relevan dengan ketenagakerjaan kita yang 60 persen berpendidikan rendah,” katanya.
Itulah sebabnya, Hanif mengubah pola pelatihan BLK. Ia mengonsepnya total untuk meningkatkan kualitas pekerja sebagaimana tuntutan perkembangan teknologi. Misalnya seperti BLK di Bekasi yang semula dijadikan tempat pelatihan berbagai bidang pekerjaan, kini hanya fokus pada teknologi informasi dan elektronika.
Presiden Joko Widodo sudah melihat sendiri kondisi BLK Bekasi pada Desember 2017. Presiden mengapresiasi perkembangan BLK yang kini fokus pada teknologi.
Sementara BLK Serang menitikberatkan pada pelatihan las dan listrik. Sedangkan di Semarang, saat ini sudah dirancang BLK yang lebih kuat pada bidang fashion designer. Di sini, para peserta akan dilatih mulai dari merancang baju, menjahit, hingga memasarkannya dengan metode online. Juga, jurusan manajemen bisnis.
Di BLK Bandung ada pelatihan otomotif dan manufaktur, sementara di Medan dan Lombok Timur, BLK akan berkosentrasi pada dunia pariwisata. Adapun di NTT, BLK akan memperkuat dunia otomotif yang dimentori Toyota.
“Kita akan terus memperbanyak akses dan mutu,” kata Menteri Hanif.
Program Menteri Hanif mendapat apresiasi dari anggota Komisi IX DPR, Siti Masrifah.
“Pendidikan dan pelatihan vokasi sangat penting bagi tenaga kerja Indonesia agar mereka mampu bersaing dengan negara lain,” katanya.
Tak mudah mengurus perkara tenaga kerja di Indonesia. Banyak hal yang perlu dijawab dan dicari solusinya, mulai dari angkatan tenaga kerja yang terus bertambah sepanjang tahun sampai ke perkembangan teknologi yang begitu cepat.
Kesigapan dalam mencari solusi seolah berpacu dengan perkembangan teknologi, jika kalah sigap maka akan tergilas. Saat ini, Indonesia--dan negara-negara lainnya di dunia--sedang berada dalam fase revolusi industri yang keempat.



EmoticonEmoticon